HEART / SOUL / MIND

Saturday, December 18, 2004

Bis Ekonomi : You Said Why, I Said Why Not

Dalam hidup kita selalu dihadapkan pada pilihan. Kadang pilihan itu mudah. Kadang begitu kompleks dan sulit untuk dilakukan, meskipun hanya ada dua opsi. Disini saya ingin berbagi cerita tentang kendaraan yang jadi pilihan saya setiap kali bepergian keluar kota. Kendaraan itu adalah bis ekonomi.

Memang betul, kita sering merasakan ketidaknyamanan saat mengendarai bis jenis ini. Tapi didalamnya saya sering menemukan berbagai realitas unik yang akhirnya menjadi suatu pengalaman batin tersendiri.

Seperti ketika saya masih kuliah di semester satu. Saya pernah dipalak didalam bis jurusan Jakarta-Sumedang saat masih ngetem di Terminal Kampung Rambutan. Waktu itu pukul 7 pagi dan bis baru terisi beberapa penumpang saja. Tiba-tiba duduk di sebelah saya seorang pedagang jam tangan yang menawarkan dagangannya dengan harga mahal. Saya menolak dengan halus. Tapi si pedagang ngotot. Saya pun tak kalah ngotot dengan mengatakan kalau tidak punya uang. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebilah pisau dari tasnya. Keringat mengalir deras di wajah saya yang pucat. Lalu saya ceritakan kalau saya hanya seorang mahasiswa yang kos dan hidup pas-pasan dengan orangtua yang harus bekerja setengah mati untuk membiayai kuliah saya. Mendengar apa yang saya katakan, pedagang itu memasukkan kembali pisaunya dan pergi begitu saja.

Itu bukanlah satu-satunya pengalaman merasakan kriminalitas di dalam kendaraan. Pernah suatu kali ada seorang pengamen ketika bis baru saja keluar dari Terminal Kampung Rambutan, meminta uang dengan memaksa. Saya tidak mau memberikan. Ia pun memoles kepala saya. Mengingat ia memiliki rombongan dan saya akan sering ke terminal itu, maka hanya bersabar yang bisa saya lakukan. Dilain kesempatan saya juga pernah menyaksikan seorang ibu yang menangis karena dompetnya dicopet oleh orang yang menyamar menjadi pedagang asongan (saya nggak yakin dia dagang beneran). Kejadian itu tepat berada didepan saya. Saya melihat seorang pedagang menawarkan dagangan ke ibu tersebut. Tapi saya dan tentu saja ibu itu tidak tahu kalau ia mengambil dompet di tas yang dipangku oleh sang ibu. Baru beberapa menit kemudian ibu itu menjerit dan menangis. Maka tahulah kami semua bahwa dompetnya hilang.

Tapi tidak semua pedagang atau pengamen seperti diatas. Saya lebih sering menemukan pedagang dan pengamen yang jujur, baik, dan profesional. Khusus soal pengamen, saya paling suka dengan pengamen yang tampil dengan serius. Maksudnya mereka benar-benar menyanyi, bukan cuma ah-eh-ah-eh ‘gak jelas. Seperti suatu malam dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Di daerah Cipanas naik rombongan pengamen dengan membawa peralatan yang cukup “lengkap”. Ada gitar, ukulele, kendang galon air mineral, dan biola. Mereka membawakan lagu yang kurang umum dibawakan oleh pengamen. Salah satunya adalah lagu Ermi Kulit yang syair pada bagian reffrain-nya berbunyi Kasih dengarlah hatiku berkata…dst. Vokalnya bagus. Permainannya juga rapi. Seakan-akan saya sedang disuguhi live music di café. Dengan performance yang tidak biasa itu wajar saja kalau sebagian besar penumpang memberikan uang yang juga tidak seperti pada pengamen biasanya.

Dalam bis ekonomi, kita dapat menyaksikan berbagai tipe penumpang dengan berbagai tipe kepribadian. Ada mahasiswa, pelajar, pedagang, karyawan, tentara, dll. Pernah suatu kali saya naik bis yang sudah penuh hingga saya harus duduk di bagian belakang. Bukan dibangku paling belakang. Tapi dibelakangnya lagi. Ditempat penumpang biasa menaruh barang dekat kaca. Saya ingat sekali, duduk bersama seorang tentara dan seorang santri pesantren. Ketika kondektur menagih uang, sang tentara membayar, tapi saya tahu ia hanya membayar setengah harga. Sang kondektur diam saja. Mungkin sudah biasa. Tapi Pak Tentara malah bercerita “Kalau saya naik bis selalu bayar. Orang lain belum tentu”, katanya. “Oh, ya..ya..”, sahut saya.

Ada juga penumpang yang memiliki kepedulian. Suatu kali saya ingin pergi ke Solo untuk suatu keperluan dengan teman saya Nurmaya (cowok lho). Di Terminal Cicaheum pukul 10 malam seorang calo bertanya kami mau kemana. Dijawab oleh teman saya bahwa kami ingin ke Solo. Lalu calo menunjuk pada bis yang akan beranjak pergi. Kami langsung naik. Pada saat kondektur menarik uang, kami baru tahu kalau ternyata bis ini jurusan Purwokerto. Karena sudah terlanjur, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Ditengah perjalanan tiba-tiba perut saya sakit dan kepala saya pusing luar biasa. Saya baru ingat bahwa saya belum makan malam. Parahnya tidak ada satupun dari kami yang membawa bekal makanan dan minuman. Sementara itu tidak ada pedagang asongan yang naik. Saat saya seperti mau pingsan, orang di sebelah kami memberikan satu kaleng Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga. Katanya ini bagus, biar segar. Ternyata ucapan orang tersebut benar. Setelah satu kaleng minuman itu saya habiskan, badan saya terasa segar. Perut pun tidak melilit lagi. Setelah mengucap terima kasih saya pun tertidur.

Ada lagi pengalaman yang berhubungan dengan interaksi sesama penumpang. Dalam perjalanan saya biasa duduk dengan orang dari berbagai tingkatan usia. Salah satunya adalah lansia Kalau duduk bersebelahan dengan mereka biasanya mereka bersikap sangat ramah dengan mengajak bercakap-cakap. Sering mereka bercerita tentang peristiwa-peristiwa di masa lalu, pekerjaan, anak, cucu, dll. Dan kalau sudah duduk di sebelah mereka kita harus bersabar untuk menjadi pendengar yang setia. Kadang sejak bis berangkat, sampai tiba ke tujuan. Dalam suatu perjalanan malam dari Bandung ke Jogja ditahun 2000, saya duduk bersebelahan dengan seorang nenek yang kemudian saya panggil Mbah. Ia baru saja dari rumah anaknya di Bandung dan akan kembali pulang ke Jogja. Mbah ini hanya dapat berbicara bahasa Jawa. Sementara saya bisa mengerti apa yang diucapkannya, tapi untuk bicara bahasa Jawa saya agak susah. Jadi sepanjang Si Mbah berbicara sampai ia tertidur, saya hanya menanggapi sebisanya. Itupun dengan bahasa Jawa yang kasar. Tapi Si Mbah tidak marah, bahkan ia begitu baik dengan mengeluarkan semua bekalnya. Saya di tawari sekotak Dunkin Donut, Jeruk Mandarin, bahkan sebotol Aqua dari dua buah botol yang dibawanya. Katanya, “Diente’ke mawon mas, wong ning omah mboten wonten sing ngente’ke kok (dihabisin aja mas, orang di rumah nggak akan ada yang ngabisin).” Ya akhirnya saya makan, tapi ‘gak habis.

Seingat saya, saya tak selalu beruntung seperti itu. Dalam suatu perjalanan, saya pernah satu bangku dengan orang yang nampaknya sedang tidak sehat. Ditengah jalan ia tiba-tiba muntah dan mengenai sepatu serta sebagian tas saya. Tapi ada kejadian yang lebih menjijikkan lagi. Suatu kali saya naik bis ke Jakarta yang telah penuh di pintu tol Cileunyi. Saya lihat semua bangku sudah terisi. Kecuali ada sederet bangku untuk tiga orang di bagian tengah bis yang kosong. Alhamdulillah, kata saya. Saya pun langsung duduk. Tapi ternyata, ceplek..ceplek…, dibawah kursi ada muntahan. Tidak hanya sedikit, tapi banjir. Yaks. Tapi saya pikir masak iya saya harus berdiri sampai Jakarta. Sementara bis sudah langsung berjalan masuk tol. Jadi saya tidak bisa turun lagi. Ya sudah, saya pejamkan mata sambil membayangkan berada ditempat yang nyaman. Untungnya saya cepat tertidur dan saat terbangun di daerah Rajamandala, sudah ada bangku yang kosong. Jadi bisa pindah duduk.

Bicara soal menjijikkan, ada lagi kejadian yang lucu. Saya pernah naik bis jurusan Sumedang-Jakarta. Di tol Cileunyi ada seorang bapak yang menghampiri kondektur.
Bapak-bapak : “Pak bisa minggir sebentar?”
Kondektur : “Bapak mau turun?”
Bapak-bapak : “Nggak, saya mau kencing nih, kebelet.”
Kondektur : “Kenapa nggak waktu di Cileunyi tadi pak?”
Bapak-bapak : “Baru terasa sekarang sih.”
Kondektur : “Nggak bisa berhenti Pak. Nanti aja di Padalarang.”
Bapak-bapak : “Wah, saya udah nggak tahan nih.”
Kondektur : “Kalo emang nggak tahan, kencing di pintu belakang aja pak. Bapak bawa aqua?”
Kemudian bapak-bapak itu mengambil sebotol besar air mineral yang dibawanya ke arah pintu belakang. Lalu ia menghadap pintu belakang.
Kondektur : “Pak, udah? Kok lama banget?”
Bapak-bapak : “Belom pak, nggak tau nih kok pas udah disini nggak keluar-keluar.”
Kondektur : “Tenang aja pak, dibelakang sini laki semua kok.”
Akhirnya selesai juga pekerjaan bapak-bapak itu. Setelah menyirami pintu ia kembali ke tempat duduknya dengan wajah memerah. Tinggal para “penonton” tersenyum-senyum sambil bisik-bisik.

Itulah beberapa kejadian dari sekian banyak kejadian yang masih bisa saya ingat. Meskipun tak semuanya indah, saya tidak kapok untuk mencoba naik bis ekonomi lagi. Siapa tahu bisa merasakan pengalaman yang lebih menarik lagi.

Monday, December 13, 2004

Renungan siang

Siang ini terasa sangat menyedihkan. Rencana yang dibuat sejak malam tidak ada yang terlaksana dengan semestinya. Memang benar, manusia hanya bisa berencana, Allahlah penentunya.

Sunday, December 12, 2004

Yang Baik Mati Muda

Kemarin seorang sahabat bertanya :
Kenapa orang baik mati muda?
Kukatakan padanya :
Mungkin Allah sayang pada dia

Sahabatku tak setuju
Katanya padaku :
Bisa jadi supaya orang lain
Seperti dirimu dan diriku
Bisa punya kesempatan
Melakukan kebaikan

Aku bertanya : Apa maksudnya?

Jawabnya:
Kita jadi sadar bahwa di dunia
Ada orang seperti dirinya
Lalu kita bisa mengikuti jejaknya

Benar juga

Senja

Damai hati
Tiap senja tunjukkan wajahnya
Lembayung langit merah muda
Saat mentari tak lagi menyengat
Namun gelap belum lagi terpahat
Hari ini akan berakhir

Sumedang, 14 Oktober 2004

Kemarau

Angin kemarau bawa berita
Manusia telah lupa
Alam hanya titipan Yang Kuasa

Kering raga
Kering jiwa
Nurani mati
Ikan menggelepar di kali

Disudut nestapa
Seorang bocah berdo'a
Kiranya Tuhan ampuni umatNya
Sirami tanah gersang
Teduh jiwa temaram

Sumedang, 2004

Kata

Kata-kata adalah keajaiban. Bahkan mukjizat terakhir yang turun ke dunia adalah Al Qur'an, kata-kata Tuhan. Kata dapat mempengaruhi bahkan menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu.

Bismillah

Bismillahirrahmanirrahim

Ini adalah blog kedua saya setelah blog sebelumnya rusak tampilannya. Kerusakan itu akibat saya terlalu banyak bereksperimen (maklum belum terlalu paham soal Blog).
Harapan saya, semoga ruang yang sangat terbatas ini mampu memberikan "sesuatu" yang berarti bagi hidup saya dan siapa saja yang membukanya.