HEART / SOUL / MIND

Tuesday, March 22, 2005

Parodi

Sebuah buku yang sudah empat tahun saya miliki dan tertata rapi dalam sebuah lemari, tiba-tiba seperti memanggil saya untuk membacanya kembali. Memang buku itu pernah saya baca sebelumnya. Tapi mungkin karena kemalasan dan keterbatasan pemahaman, maka hanya sepertiga bagiannya yang mampu melewati kedua bola mata saya. Dan entah mengapa, ketika mencoba membacanya kembali. Tiba-tiba saja muncul gairah yang tidak saya alami ketika saya membaca buku itu sebelumnya.

Dalam satu bagian saya menemukan sebuah tulisan tentang parodi. Namun parodi di sini bukanlah karya seni yang memplesetkan hal-hal yang sedang populer, melainkan parodi dalam lingkup yang lebih luas. Parodi kehidupan. Seperti halnya parodi dalam dunia seni, maka parodi yang ada disekeliling kita juga sesuatu yang bersifat lucu, namun sekaligus mengkritik, menohok, bahkan mengejek. Sang penulis mencontohkan bagaimana sebuah negara yang secara sumber daya alam tidak memiliki sesuatu yang lebih baik dari negara kita namun keadaan yang terdapat di sana merupakan parodi dari setiap segi kehidupan yang ada di negara kita. Banyak hal yang penulis ungkapkan.

Dan saya pun berhenti sejenak. Memejamkan mata. Menginternalisasi. Lalu melihat kembali realitas-realitas dalam kehidupan yang ternyata merupakan sebuah parodi. Parodi dari apa? Dari apa yang disebut-sebut kebenaran, keadilan, dan konsep-konsep ideal yang selalu diajarkan dalam ruang-ruang pembelajaran. Tergambar dalam benak saya bagaimana setiap detik kita dikelilingi dengan informasi, bahkan pengalaman empiris yang membuat kita harus kembali melihat buku idealisme.

Sofistikasi semantik. Eufimisme. Penghalusan kata. Alasan. Demi tujuan-tujuan tertentu. Diiringi harapan akan adanya pengertian dan pemakluman. Berputar mengelilingi kita. Dalam media bahkan langsung di depan mata. Kenaikan BBM, Ambalat, DPR, Reza Artamevia, hamilnya Sophia Latjuba, metroseksual, dan segudang citraan-citraan semu. Ternyata adalah parodi dari apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh saya, anda, dan masyarakat yang telah banyak menderita. Parodi dari kemiskinan, parodi dari mahasiswa yang turun ke jalan, parodi nilai-nilai agama, moral, dan norma, parodi dari parodi. Jangan salahkan anak-anak kita yang sejak kecil diajarkan tentang norma, agama, serta hal-hal luhur lainnya, namun kemudian tumbuh menjadi manusia korup, hipokrit, dan materialis. Karena ternyata parodi-parodi disekelilingnya telah mendekonstruksi konsep-konsep kebaikan dalam kepalanya.

Apakah kita harus membiarkan semua ini terjadi? Apakah kita akan menjadi fatalis?
Kitalah sendiri penentunya. Keyakinan akan sesuatu yang luhur harus senantiasa kita pupuk dan jaga. Membaca kembali. Mencari lagi apa makna hidup sesungguhnya. Membiasakan memberi. Menjadi contoh. Agar hidup tidak lagi sekedar parodi.

Dug...saya membuka mata. Parodi? Apakah saya juga pemerannya? Ya...Allah ampunilah hamba...bimbinglah hamba!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home